Hantu Gunung

Fever103
2 min readApr 10, 2019

--

Ini dimulai dengan ibuku, menutup tirai jam enam sore dengan suara yang berisik. Tirai tahun 2004 masih menggunakan pin-pin kecil yang bisa bikin berdarah kalau terinjak, ada dua kait kecil berbentuk huruf S tempat menggantungkan satu persatu lubang di tirai, butuh setidaknya 30 pin untuk menggantungkan sepasang. Tirai bunga Peony raksasa berwarna biru, ungu dan kuning, satu bunganya sebesar kepalaku. Mungkin tirai itu yang membuat Starry Night selalu bikin ingat parfum dan bau keringat ayah kalau sampai rumah jam lima sore. Parfum yang berganti tiap tahun dan aku selalu ingat baunya. Familiar seperti menonton kartun lebah yatim piatu dengan luka menganga di siku dan lutut akibat bermain sepatu roda. Di luar hujan deras, ada sup dingin yang lupa dimakan karena terlalu sibuk menangis. Dan si mbak yang tadi mengobati lukaku sambil marah-marah sedang mengepel ruang tamu yang bocor. Tidak pernah ada minggu yang terlewat tanpa lebam baru, dan luka parut sejengkal tanganku di siku, dan luka yang selalu basah dan bahkan kembali jatuh sebelum sembuh di lutut.

Mungkin pada suatu waktu orang-orang di rumah tidak lagi menghiraukan kalau aku menangis, sudah terlalu sering, dan sudah seperti minum air putih dari kendi yang dingin. Beberapa kali sehari; karena takut, karena sedih, karena marah, karena kesepian, karena ingin ibu cepat pulang, karena ingin ayah cepat pulang, karena ingin bisa membuat susu untuk adik yang masih bayi, karena makan cabe, karena bosan lihat muka mbak, karena kalah main petak umpet, karena tidak diajak main karena masih terlalu kecil, karena jatuh, karena jatuh, karena jatuh, karena burung beo om Andi lepas dari rantainya.

Pertama kalinya aku takut hantu adalah kelas 6 SD, sebelumnya aku takut dinosaurus. Seorang teman yang berkunjung bilang tolong tutup tirainya, di luar hujan deras. Nanti hantu-hantu bisa masuk rumahmu. Lalu abang hilang, aku ingin ikut keliling kampung mencari tapi tidak boleh, katanya nanti aku malah ikut hilang. Aku sempat berpikir sepertinya jadi hilang menyenangkan, pasti seru bikin orang-orang mencari dan kamu bisa sembunyi.

Sisanya, entri jurnal yang selalu bikin ibu marah kalau membacanya, katanya terlalu sedih, padahal ada banyak hal untuk disyukuri. Padahal aku baru bisa menulis, lalu aku minta uang nenek untuk beli jurnal yang bisa digembok. Agar ibu tidak bisa lihat, jadi aku bisa dengan bebas bersedih soal apapun yang bikin sedih di hari yang terik dan bikin aku sibuk bermain itu.

Mungkin sebetulnya hantu gunungnya aku, anak kecil yang tidur siang sendirian dengan luka luka kena aspal biar malam cepat datang.

--

--

Fever103
Fever103

Written by Fever103

Tumblr-core emotional and deeply personal bad writings

No responses yet