Satu Matahari Terbit Lagi

Fever103
2 min readApr 12, 2020

--

Mengunci pintu, mengintip matahari terbit yang sinarnya tidak masuk ke kamarku, tidak mengenai deretan karya ilustrator lokal yang aku lupa siapa tapi aku pajang karyanya dan tidak menjadikan mereka oranye seperti foto blogger-blogger Korea.

Membaca habis kumpulan cerpen Dea Anugrah di toilet, lalu lupa kenapa dulu aku setengah mati cinta karyanya. Aku lebih suka baca dia menulis sesuatu yang nyata dan membuat semua terdengar seperti fiksi daripada membaca dia menulis fiksi sungguhan. Setiap hari aku bangun tidur berharap ada secuil pikirannya yang bisa aku baca hari ini. Di newsletter, di buku-buku yang belum selesai aku baca, di media sosial, podcast, atau wawancara di CNN atau di mana saja. perjalananku naik MRT selalu penuh senyum malu-malu anak SMA yang mabuk cinta dengan tulisan orang asing. Setiap menginjakkan kaki di stasiun aku selalu berharap dia akan naik di stasiun Blok A, lalu aku akan turun di Blok M. Cuma 48 detik yang aku punya tiap harinya untuk mencari wajah yang familiar tapi aku selalu berangkat terlalu siang dan pulang terlalu malam untuk sekedar berpapasan. Seharian, yang ada di pikiranku selain pekerjaan hanya potongan-potongan dari apa yang dia bilang, “tiap hari adalah hari menulis bagus”, “titit bule biasa aja”, dan yang paling aku suka “jangan mati dulu, besok ku ceritakan yang lebih menarik.”

Aku pernah mengiriminya surat panjang lebar tentang seberapa aku suka tulisannya, dia bilang terima kasih, senang sekali rasanya sampai mau menangis. Aku senang berhari-hari karena itu saja. Dia pernah bilang ingin punya fans yang bisa menulis lebih bagus dari dia, tentunya aku masih jauh untuk sampai ke sana, tapi bosku di kantor bilang “tahun depan, ya.” Pesan itu cuma aku baca.

Kalau dulu penyair seperti Sapardi berupaya bikin karya sastra seperti puisi lebih mudah diterima, apa melihat semuanya hari ini dia akan lega? Lihat, ada aku dan banyak orang lainnya yang terobsesi dengan tulisan seorang penulis lokal, ada mereka yang rajin membaca puisi dan mengubahnya menjadi lagu-lagu yang dinyanyikan sambil main ukulele sore-sore, ada puluhan akun Instagram yang isinya tulisan-tulisan mereka yang berusaha, bahkan yang sekedar mengutip potongan karya sastra jadi caption Instagram belaka tidak terhitung jumlahnya. Ini bagus, bukan? Atau tidak juga?

Lalu habis ini apa? Ada pekerjaan untuk dikejar sebelum besok dikumpulkan, ada kebosanan karena berdiam diri di kamar karena isolasi massal, ada album baru the Strokes untuk didengarkan dan satu buku Dea Anugrah lagi untuk diselesaikan sebelum betul-betul kehabisan. Ada pertanyaan-pertanyaan, ada kebingungan, tapi yang paling penting buatku sekarang, ada api kecil yang baru dinyalakan.

“Setiap hari adalah hari menulis bagus.” Baiklah kalau begitu.

--

--

Fever103
Fever103

Written by Fever103

Tumblr-core emotional and deeply personal bad writings

No responses yet